Minggu, Agustus 19, 2007

Puzzle Cinta

Jika berurusan dengan makhluk bernama cinta, perilaku kita seringkali anomali. Entah cinta pada siapa, dengan apa, saat kapan dan dimana. Apalagi cinta yang masih tumbuh dan sedang hangat-hangatnya bersama pasangan yang benar-benar awam tentangnya; kita bisa menyebutnya kekasih, pacar, kesayangan, calon pasangan sehidup semati, istri atau suami masa depan.

Seorang yang egois dan narsis dapat mendadak rela menggadaikan harga dirinya untuk bersimpuh memuja-muja kekasih pujaannya, bahkan menangis meraung dan meronta jika tertimpa masalah pelik atau cintanya tertolak – bertepuk sebelah tangan. Atau seorang yang bijak dan pandai bisa tiba-tiba kehilangan akal sehat dengan meradang marah hingga bertingkah anarkis ketika cemburu atau bila dambaannya direbut pesaing abadi.

Ya... sebagai anugerah terindah dari Tuhan kepada semua makhluk tanpa pandang bulu, Cinta bisa menyatukan perbedaan; beda status, beda usia, beda gaya hidup, beda pemahaman. Tuhan pernah berfirman dalam Ar-Ruum ayat 21 “... dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih sayang...”. Ini yang lalu diimplementasikan menjadi empati, suka, cocok... kangen! Kita harus merawat rasa itu untuk tidak dominan di hati, pikiran dan tingkah laku.

Karena jika menguasai ketiganya, rasa itu akan mengalahkan Tuhan, menjauhkanNya dari pikiran dan mengusirnya dari hati. Jangan sampai cinta mengejawantah menjadi Tuhan, atau yang lebih parah apa dan siapa yang kita cintai mengkudeta posisi Tuhan. Apa namanya punya banyak Tuhan kalau bukan musyrik?

Hati kita adalah perahu yang ketika akan menuju tambatannya hanya punya dua pilihan; melubangi hingga karam seperti yang dilakukan Khaidir atau menjaga dari metafor ombak dan badai. Itu semua tergantung si empunya, karena sosok terkecil ini berpengaruh besar; jika baik, maka baiklah seluruh jasad dan jika buruk maka buruklah seluruh tubuh. Menjaga hati tidak semudah apa yang sering diumbar oleh kyai populer dari Bandung, apalagi harus menyatukan dua hati yang meskipun warna dan bentuknya sama tapi esensinya berbeda.

Karena hati adalah variabel riset yang paling otoriter dan tidak terkontrol sekaligus paling rapuh dan sensitif. Saat kita mencoba melakukan unifikasi, maka dimungkinkan terjadi gesekan, benturan, singgungan hingga memar, iritasi dan luka menganga. Tidak ada yang mulus...

Karena dua hati adalah dua kepingan yang seharusnya menyatu walau sudah lama terpisah. Jika bisa digenggam, tiap hati punya lekukan dan sudut yang berbeda. Belum lagi jika diukur, maka hati itu punya panjang, lebar dan radius yang beragam. Maka menjadi penting untuk mencari kepingan yang pas dan sesuai dengan keping milik kita. Repotnya, untuk hal yang satu ini kita tidak bisa terlalu sering bongkar pasang mencocokkan dengan semua keping yang tersedia.

Namun kita bisa belajar dari pengalaman. Bagaimana dua keping hati yang tidak terlalu cocok bisa coba disatukan, meski harus membuat salah satu atau keduanya lecet, goyah, retak bahkan hancur. Itu semua pengorbanan dan awal dari akhir – bukan akhir dari awal. Proses selanjutnya adalah dialektika – kerjasama dua arah, yaitu merekatkannya dengan erat. Bagaimana membuat adonan lem yang cocok dan memeliharanya tetap terpasang di tempat yang baik dan benar.

Pada akhirnya semoga Tuhan menanamkan cinta dalam hati kita, menyandingkan kita dengan hati yang mencintai Tuhan dan diberi petunjuk untuk melakukan segala hal menuju cintaNya. (Nidy & Zul; Buat Kalian berdua. Kini buat Kami)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mesin Pencari Kata

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails